Rabu, 07 September 2011

"DIMANA ALLAH MERATAP"




(Wawancara dengan Monsignor Segundo Tejado Munoz)
(Terjemahan bebas)


Bertatap muka dengan Gereja Martir

Monsignor Tejado tentang Awal Pelayanan Imamat di Albania


ROME, SEPT. 6, 2011 (Zenit.org) Gereja di Albania menderita penganyiaan yang besar dan mengerikan dibawah kekuasaan dictator komunis Enver Hoxa. Walaupun komunis – tidak seperti Negara sekuler yang mengeluarkan Allah dari hati umat, demikian kata monsignor yang memulai pelayanannya sebagai imam di Albania. Mongsignor Segundo Tejado Munoz, wakil sekretaris pada Pontifical Counsil “Cor Unum” yang mengenang kembali tugas pertama imamatnya di Albania sebagai yang terbaik sepanjang hidupnya.

Dia berbicara dalam program televisi “Dimana Allah Meratap” yang disponsori oleh Radio dan Jaringan Televisi dalam kerja sama dengan Badan Bantuan untuk Gereja miskin, tentang apa yang seharusnya seorang imam belajar dari pelayanan kepada mereka yang menerima resiko berat karena hidup untuk iman mereka.


Wartawan: Engkau datang ke Albania sesaat setelah kematian Enver Hoxa. Apa pengalamanmu pada saat itu?

Monsignor Tajado: Saya datang ke Albania untuk bekerja di sana dan membantu menyediakan rencana pembangunan kembali Gereja sesaat setelah kejatuhan komunis. Saya tidak tahu sesuatu pun tentang Albania karena Spanyol mempunyai hubungan yang kurang akrab dengan Negara-negara Balkan. Pengalamanku sangat mencengangkan – sulit tapi mengagumkan. Saya mengerti bahwa Tuhan telah memanggilku untuk pergi ke Albania. Albania sangat miskin tapi saya menemukan banyak umat sangat membantu satu sama lain; banyak kali di Negara komunis banyak umat bertentangan dengan iman, tapi tidak di Albania. Paus datang ke sana pada tahun 1994 dan beliau menahbiskan uskup pertama. Itu adalah pengalaman yang sangat bagus, tapi juga sulit karena Gereja dianiaya, sehingga harus memulai dari awal lagi, untuk berbicara tentang Yesus, tentang Tuhan dan mengorganisir gereja secara keseluruhan.


Wartawan: Apa yang sangat merisaukan yang engkau lihat ketika datang ke Albania?

Monsignor Tajado: Saya melihat sejumlah penduduk dan sebuah gereja yang menderita banyak selama pemerintahan komunis tetapi penganiayaan tidak menghancurkan sesuatu di dalam hati mereka. Itulah sesuatu tentang surga. Mereka katakan bahwa “selama era komunis surga sangatlah dekat dengan hati mereka.”


Wartawan: Pada umumnya penduduk Negara itu Ateis. Bagaimana mungkin masih ada benih iman di sana?

Monsignor Tajado: Komunis tidak dapat menghancurkan harapan di hati umat. Dalam Negara komunis, sekularisasi telah dihancurkan oleh harapan ini di hati umat. Dalam negara2 dibawa control komunis, nilai rasa iman akan Allah tetap tinggal di hati umat. Engkau dapat berbicara tentang Allah dengan umat di sana, dalam cara yang engkau tidak dapatkan di dalam negara2 sekulir, sebab umat menemukan baik Allah maupun iman merekalah yang sangat penting dan menarik.


Wartawan: Apakah di sana terjadi penganiayaan yang bengis terhadap Katolik Albania?

Monsignor Tajado: Ya, gereja di Albania adalah gereja para martir. Mereka tetap bersekutu dengan Santo Petrus, dengan Paus dan itulah unsur penting untuk mereka. Enver Hoxa memaksa Gereja Katolik Albania untuk menjadi gereja nasional seperti di Cina, tapi para uskup dan imam menolaknya; “Kami akan tetap menjadi satu kesatuan dengan Petrus, dengan Paus” dan karena ini, mereka dianiaya dan memiliki situasi yang mengerikan.


Wartawan: Apakah kesaksian2 ini mempengaruhi panggilanmu sebagai seorang imam?

Monsignor Tajado: Ya! Ketika engkau berbicara kepada mereka yang dianiaya, sesuatu menyentuhmu. Engkau datang berhadapan muka dengan muka dengan seseorang yang telah mengorbankan hidupnya untuk Tuhan; Ini sangat penting untuk seorang imam – menyerahkan hidupmu untuk Tuhan dan untuk Gereja.


Wartawan: Apa saja resiko yang telah engkau alami karena imanmu akan Tuhan?

Monsignor Tajado: Setiap hari sebagai seorang imam saya dipanggil untuk memberikan hidup kepada Tuhan; melakukan kehendak-Nya. Itu adalah sebuah pengalaman spiritual. Jika engkau bertemu seseorang yang telah menderita bukan hanya untuk sehari tapi untuk hidup, untuk Tuhan, engkau seharusnya bertanya kepada dirimu mengapa engkau tidak dapat melakukan hal yang sama dan menyerahkan hidupmu secara penuh kepada Tuhan? Inilah aspek penting untuk seorang imam – bukan hanya untuk seorang imam tapi juga untuk setiap orang Kristen.


Wartawan: Apa yang ada di dalam dirimu yang telah tertinggal di Albania?

Monsignor Tajado: Setengah dari hatiku. Saya berada di sana selama 9 tahun. Itu adalah pengalaman tugas pertamaku sebagai imam dan menjadi tempat tujuan pertamaku, saya mengenangnya sangat mendalam. Itulah sebuah periode yang sangat manis dalam hidupku – terbaik, saya piker, sungguh dan selalu karena kesulitan2, salib dan penderitaan, yang Tuhan izinkan dalam hidupku. Itu membuatku merendah dan menjadi rendah hati.


Wartawan: Ibu Teresa datang dari Albania. Seberapa pentingkah dia untuk Gereja Katolik di sana?

Monsignor Tajado: Ibu Teresa merupakan seorang tokoh yang sangat penting untuk kita semua. Dia lahir di Skopje, Albania, bagian dari Macedonia. Untuk orang-orang Albania, dia sangat special setelah kejatuhan komunis, orang-orang Albania kehilangan harapan. Pesan ibu Teresa, “Tidak ada yang mustahil bagi Allah,” adalah sebuah pesan yang saya renungkan dan itu juga menjadi pesan untuk semua umat. Jika we memiliki model iman seperti ini dalam hidup kemudian tidak ada sesuatu yang mustahil untuk kita kita we bersama dengan Tuhan. Kunjungan Paus dan Ibu Teresa adalah, seperti orang-orang Albania katakan, seperti “surga terbukan kembali.” Komunis menutup surga bagi umat; Ibu Teresa dan Paus membuka kembali surga untuk mereka.”


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar